.: Kisah Kelahiran Faqih :.

Kuhitung dgn seksama usia kandungan anakku sambil mencoretcoret kalender meja, memberi tanda dgn stabilo hijauku. Beban pekerjaan yg banyak sungguh tidak memungkinkan diriku mengambil cuti tahunan untuk memperpanjang cuti bersalin yg hanya 3 bulan. Sejak awal kuputuskan mengambil tanggal mulai cuti yg mepet aja dgn HPL yg kata DSOG tanggal 7 Juni 2009, ingin lebih lama bersama calon anakku di rumah…

 Jumat, 29 Mei 2009

Hari terakhir bekerja, kutuntaskan pekerjaan yg tersisa semampuku. Yah walau pada akhirnya tetap ada 1 item yg harus ditake over oleh peer mate ku. So sorry, sobat. Pada menit akhir menuju jam 17, kusempatkan berkeliling untuk pamit dengan rekna-rekan kerjaku, sekaligus meminta maaf dan doa agar perjuanganku dimudahkan. Melahirkan itu salah satu bentuk jihad kan, hehe….

 30 Mei 2009, adzan subuh berkumandang….

 Terasa ada sesuatu yg keluar dari jalan lahir. Segera kucek, ternyata lendir. Hmmm, berarti sudah dekat waktu berjihad itu menjelang. Ada sejumput cemas, membayangkan bagaimanakah rasanya nanti, tapi kebahagiaan segera akan berjumpa dengan buah hati yg telah lama bersemayam di tubuhku membuat gelisah itu teredam. Bismillah, aku pasrahkan saja hidupku di tangan-Mu, ya Rabb…. demi makhluk suci dalam rahimku, apapun ikhlas kujalani. Hiks, jadi tau rasa cinta bunda kita ya teman….Suami yg sudah terbangun dari tadi kuajak bersiap ke bidan Iin di Klinik Firdaus untuk memeriksakan pembukaan. Tas berisi perlengkapan bersalin juga kubawa, siapa tau langsung diinapkan.

Degdegan? Pasti.

Tapi dukungan dari suami dan kepasrahan pada Allah membuatku lebih tenang.

Tak berapa lama, sampailah kami di klinik. Sepi, karena masih sangat pagi. Kuketuk pintu rumah dan pos bidan jaga, ga lama seorang bidan belia menyambutku dgn tersenyum ramah walau terlihat mengantuk. Setelah bertanya sedikit ihwal, bidan jaga mempersilakanku berbaring sambil menunggu pemeriksaan dalam dari bu bidan Iin, yg rupanya baru saja bisa beristirahat karena sebelum kedatanganku, beliau menangani pasien lain yg melahirkan.

Sambil bersenandung, bu bidan menghampiriku. Beliau segera mengenaliku dan sambil tersenyum bertanya beberapa hal. Wah rupanya masih pembukaan 1. Faktor anak pertama membuat pembukaan lengkap lebih lama karena otot vagina belum lemas. “Bisa jadi lairannya besok pagi niy”, canda beliau. Beliau memberi opsi, menunggu di kamar klinik atau pulang ke rumah. Aku dan suami memilih pulang dengan alasan kenyamanan. Akhirnya bidan membekaliku beberapa butir pil, bentuknya kecil berwarna putih untuk kuminum.

Sesampainya di rumah, kupandangi pil itu sambil berpikir dan takut, ingat cerita teman, jangan-jangan ini pil untuk merangsang pembukaan atau induksi. Melalui sms, kutanyakan juga kepada Lik Yani, jawabannya membuatku semakin mantap untuk mencoretnya dari daftar obat yg harus kuminum. Hihi sotoy, andai saja tau, mungkin ga gini ceritanya…

Sampai malam hari, aku masih cengengesan, lendir juga tetep keluar. Tapi mas bilang, kalo aku masih ketawa-ketawa, berarti belum akan melahirkan.

Kko bisa mas beranggapan begitu? Kayak pernah lairan aja, hihi…Oooh ternyata based on her sister’s experience, sakitnya ketika pembukaan hampir sempurna biasanya bikin wajah ga cengar-cengir lagi, beda dengan wajahku saat ini yg masih penuh canda tawa, hihi…. Kucoba beristirahat di tengah his atau kontraksi karena persalinan membutuhkan fisik yg kuat. Karena lelah, mata ini mau bekerjasama. Tak lama, aku pun terlelap.

Pyarrrr….

Bunyi yg mengagetkan terdengar dan seketika mengagetkanku. Terasa ada air yg menggenangi di bagian bawah tubuh. Pikiranku teringat pada pecahnya ketuban. Dinihari itu pukul 3 pagi, aku bergegas membangunkan mas untuk mengajaknya bersiap ke klinik. Mas yg segera terjaga juga tergesa keluar kamar untuk memberitahu orangtuaku.

Kuraih tas yg berisi perlengkapan bersalin sambil melantunkan doa. Bismillah, sebentar lagi akan jumpa denganmu, Nak. Makhluk yg sangat kami rindukan hadirnya.

Pukul 4, setelah bebersih seadanya, mobil melaju kencang di jalanan yg sepi. Sesampainya di klinik, Bu Bidan dan para asisten langsung memeriksaku. Ternyata bukaan belum sempurna. Bidan pun bertanya apakah obat yg diberikan beliau kemarin sudah kuminum. Dengan lugu kuceritakan perihal ketakutanku akan obat itu dan obrolan dengan bulik Yani. Bidan tertawa sambil bilang * mungkin pengennya tepokjidat kali ya dapet pasien sotoy kayak aku*, “Itu obat pelemas otot jalan lahir, bukan perangsang”.

Oh Ya Rabb, maluuuuu….!!

Hahaha

Oleh karena pembukaan belum sempurna, tapi ketuban sudah pecah, bidan menginstruksikan kami untuk mengambil kamar perawatan saja. Menunggu hingga pembukaan lengkap. Mas segera memesan kamar VIP yang cukup bagus dan fasilitasnya lengkap. Ada kulkas, TV, meja makan, sofa tamu dan permadani, plus kamar mandi dalam lengkap dengan shower serta spring bed dan box bayi karena bisa rooming in. Inilah salah satu pertimbanganku lebih suka melahirkan di klinik bidan, perawatan bisa gabung dengan bayiku sendiri. Ga ada acara terpisah dari si kecil sejak ia lahir. Apalagi memang aku bertekad untuk menyusuinya langsung.

Di dalam kamar, aku yang memakai jarik, diminta Mama untuk jalan terus agar bayi cepat turun. Jadilah aku muter muter sambil sesekali dibimbing Mas ketika rasa sakit kontraksi datang. Tapi masih bisa cenga- cengir. Berarti masih agak lama melahirkannya, hehe…

Sekitar pukul 7, kontraksi terasa makin hebat. Aku uda lemes, pengen tiduran aja. Mas duduk di bawah bed sambil memegangi tanganku, menuntun istighfar dan mengelap keringatku. Ah kalo inget hal ini, cintaku pada Mas tambah besar. Hehehe…

Mama yang tadinya menghilang, datang membawa air jahe. Ko sempet ya, beli di mana pagi pagi gini. Ternyata ada tetangga bidan yang merupakan teman lama Pakde, jadi Mama nyempetin ke situ buat minta jahe dan memarutnya. Air jahe yang panas akan membuat bayi lekas lahir. Hehehe aneh aneh aja. Oke deh, kuminum sampe tandas. Ga ada salahnya nyoba, asal ga melenceng dari syariat, insyaAllah akan kulaksanakan. Betapa kasihnya orangtua pada anak, beginikah rasanya Ma ketika engkau berjuang melahirkanku ke dunia? Really love you, Mom…..

Akhirnya asisten bidan datang mengecek keadaanku pada pukul 8. Aku diminta segera masuk ruang bersalin. Bapak menunggu di luar, Mama dan Mas boleh masuk mendampingiku. Ranjang yang kutempati persis di sebelah dinding. Mas mengambil posisi di samping kepalaku, Mama di dekat kakiku. Rasanya ga karuan, ya panas entah karena jahe ato memang metabolisme tubuh otomatis akan seperti itu – padahal kipas angin ada di atas kepalaku- ya sakit, ya gerah. Benar benar berjuta rasanya. Mas di samping sibuk membimbingku berdzikir, sambil memberiku logistik berupa minuman ato cemilan yang kuinginkan (jangan lupa hal ini ya, karena melahirkan butuh energi besar, jadi selain tas perlengkapan bayi, siapkan juga logistik kita), Mama sibuk menangis, mengelap airmata, mengelus dan memijitiku sambil berdzikir. Asisten bidan juga tak pernah pergi, setia menungguiku di sisi sambil memijiti kakiku dan mengecek infus yang dipasang ke tanganku. Salah satu hal yang membuatku terkesan dengan klinik ini.

Lama kelamaan, rasa sakit semakin menjadi, dzikirku makin lirih. Asisten bidan memintaku berubah posisi untuk membuatku merasa lebih nyaman. Posisinya berbaring miring ke kiri menghadap dinding, menatap Mas. Kulirik sekilas jam dinding dengan ekor mata. Hmmmm pukul 9. Asisten bidan yang mengecek pembukaan melihat kondisi jalan lahir. Dia segera masuk ke dalam rumah yang ditempati bu bidan. Ga lama, bidan datang dengan riang dan menyapaku hangat. Sekejap aku lupa rasa sakit ini, merasa diperlakukan lebih personal oleh beliau. Ini juga salah satu alasanku hanya ingin ditangani oleh bidan.

Setelah mengejan hanya dua kali, suara tangis bayi laki-laki yang nyaring terdengar. Alhamdulillaah, Mas nampak sangat lega. Diciuminya dahi dan bibirku. Dan inilah buah hati kami, amanah Allah, telah ada di hadapanku untuk melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) setelah sempat dibersihkan dengan lap sebentar. Mata kecilnya mengerjap-ngerjap lucu memandangku. Rambut ikalnya seperti rambut Mas. Menggemaskan…

Selesai jahit-menjahit luka bersalin, bu bidan menolak memberi tahu berapa banyak sambil tertawa, aku dipindahkan ke kamar inap dengan kursi roda. Mas kemudian mengabari orang tua dan sanak saudara, Mama sibuk membenahiku, Bulek-bulekku yang berdatangan menjenguk sibuk menimang bayi kecil kami, dan sepupuku riuh rendah ramai sekali bercanda. Ah bahagianya….

Setelah sempat tertidur selama 5 jam, bayi kecilku terbangun dan minta disusui. Seminggu kemudian, kami beri ia nama, Faqih Ahmad Gifri.

Sekarang bayi mungil itu uda besar, sibuk berceloteh dan bertanya banyak hal sepanjang hari, bahkan sampai ketika waktunya tidur malam pun. Hingga tak jarang, aku dan Mas harus mengingatkannya untuk diam sejenak dan merem. Hehe…

Uda pandai membolakbalik pertanyaan dari yang sederhana hingga membuat kening orang tuanya berkerut dan akhirnya harus membuka mbah Google. Mulai rutin mengikuti shalat lima waktu. Berusaha menambah hafalan surah pendek dan menamatkan buku Iqra’ jilid tiga tapi karena permintaannnya sendiri diulang lagi dari jilid satu agar bisa lekas membaca Al Qur’an. Aamiiin ya Allah..

Barokallahufiik ya bunayya…

Jazakallah telah hadir menjadi qurrota ‘ayun Bapak dan Mama. Semoga hadirmu ke dunia adalah rahmatan lil alamiin. Mudah-mudahan engkau menjadi insanul kariim dan Allah mudahkan kami untuk menyayangi dan mendidikmu dengan sebaik-baik tauladan, aamiin aamiin tsumma aamiin.