Dinginnya hujan mengingatkanku pada hangatnya kasihmu. Semua bentuk cintamu, selalu membuat mataku terasa panas, haru. Semakin jauh darimu, justru perhatianmu makin lekat, padaku. Ya padaku, anak sulungmu yang usianya telah hampir mendekati angka 3 dasawarsa. Tak berubah, hingga aku sudah setua ini.
Mau bukti?
“Sini Nak, Mama gendong adhek”, pinta Mama padaku. Beliau memintaku untuk menyerahkan si bungsu yang ada dalam gendonganku ketika kami sekeluarga sedang makan di sebuah rumah makan. Tentu aku mengerti maksudnya. Mama memang akan selalu begitu. Beliau memintaku dan anggota keluarga lainnya makan terlebih dahulu, adhek akan dimomong oleh beliau hingga aku selesai makan. Setelah semua kenyang dan makanan di piring tandas masuk ke dalam perut kami, barulah beliau makan. Begitu juga kali ini. Tak terkecuali di rumah. Mama akan memastikan semua sudah mendapatkan nasi, lauk dan sayur dengan semestinya, barulah beliau akan mengisi perutnya kemudian dengan apa yang masih tertinggal di dapur.
Hmmm….
Apakah yang membuat beliau rela melakukannya? Aku yakin, Mama pun lapar pastinya. Tapi seperti sebuah kepuasan tersendiri dalam hati beliau, apabila melihat orang-orang yang dikasihinya telah puas dengan hajatnya.
Ah, pasti CINTA dasarnya. Cintalah yang telah membuat segala hal yang terasa berat menjadi ringan, yang mustahil menjadi mungkin, dan yang susah menjadi senang.
Selamat Hari Ibu, Ma.
Sungguh, cintamu terasa hangat dalam hatiku, terasa lapang bagai samudera, selamanya takkan pernah berhenti mengaliri jiwaku.
Selamanya…..
Jogjakarta, Renungan Menyambut Hari Ibu, 22 Desember 2013